Langsung ke konten utama

" Hujan diatas Rindu "



Kepada setiap Hujan yang menjelma sebagai kenangan.
Kepada setiap Angin yang menyeruak bagaikan Ingatan.
Kepada Tetesan Air yang menguap mengukir nama kita.
Dan kepada setiap Nafas yang mengalir menyebut nama dalam Doa. 

Untuk kesekian kalinya, aku mengulang kembali tulisan ini yang sempat hilang dalam folder dokumenku. Bahkan ide-ide ku yang lama sempat terhapus dalam imajinasi liar yang mungkin terhempas angin.
Dan dengan kesungguhan hati, Tuhan masih mau memberikan Anugerah padaku untuk menulis ulang kembali cerita dan kalimat-kalimat absurd ini.
Dengan rasa Rindu, Hati yang gemetar, dan jantung yang berdegup kencang, aku menulis Sajak ini dibawah Hujan dalam rasa kerinduan.
Dan ku persembahkan Tulisan ini, kepada kalian yang sedang merindu akan sosoknya yang entah kemana.
Meskipun jiwa kalian tetap berada, namun kesunyian masih saja menghantui di setiap harapan dalam senyum saat berpapasan.

Sajak pertama, aku tulis saat Langit sudah tak sebiru kemarin, saat Angin tak sesejuk minggu lalu, dan saat Mentari sudah tak lagi nampak di hari ini.

Angin... kau melewat tanpa bilang permisi.
Menggoda ranting-ranting pohon untuk mengikuti kemana arahmu pergi.
Langit... kau sembunyi dalam warnamu yang indah.
Menampakkan diri lewat gelapnya hitam dan awan yang pekat.
Dan Hujan... kau kembali menjelma sebagai sosok yang kutakutkan.
Kau menggeliat bagaikan ingatan dalam sangkar yang membui.
Dimana Pelangi? Dimana keindahan itu? 
Kalian seperti mengumpat dalam jeda saat berhenti pada kenangan.

Sebuah rasa jenuh yang bercampur dengan Rindu membuat awal Maret ini menjadi sebuah tanda tanya besar bagi perasaanku yang haus akan kabar baik darinya. Tak hanya itu, Gerimis pagi tadi mengisyaratkan bahwa rasa yang membakar, telah hangus oleh sang Jemu yang tak kunjung diberi penjelasan.

Sajak kedua, ku persembahkan pada Perempuan-perempuan di luar sana yang sedang menunggu seseorang dan sibuk memikirkan sosoknya yang menelusup ke dalam ulu hati yang siap menyambut sang Adam datang dalam doa yang di penuhi harapan. Meskipun Hujan membasahinya, Meskipun Angin mengoyak rambutnya, dan Meskipun Kedinginan menyusup tulang rusuknya. Ia tetap menunggu, sampai sang Pujangga datang membawa payung untuk merangkulnya dalam dekapan. Walaupun itu hanya sebuah keinginan diambang batas.

Pernahkah kau berpikir, bahwa perempuan tak pernah berani untuk memulai?
Pernahkah kau merasakan bahwa perempuan hanya bisa menunggu?
Dan apa pernah kau memikirkan bahwa rasa cintanya hanya ingin dibalas?
Kalian hanya perlu menjawab Ya atau Tidak!
Ketahuilah, perempuan tak bisa menikam ego dengan semaunya.
Ia butuh kepekaan, perhatian dan juga pelukan atau sandaran saat Airmata mengunyah seluruh perasaanya.
Mereka hanya ingin didengar dan dimengerti...
Mereka bukan Makhluk Tuhan yang lemah, melainkan yang paling kuat dari segalanya.
Tapi ketahuilah, 
Perempuan punya kerinduan yang tak bisa dibendung lebih lama lagi.
Air matanya adalah sebuah ketenangan... 
Saat setiap alunan musik, setiap hujan turun, dan setiap bunga bermekaran.
Mereka selalu menanti kabar... kepada kalian yang meninggali sebuah harapan.

Karena sepanjang aku menikmati Hujan, aku selalu membayangkan bagaimana Tuhan dengan hebatnya mengalirkan tetesan Air yang begitu banyaknya untuk bumi. Seperti halnya dengan Rasaku yang mengalir kepadanya. Natural.
Kalaupun Patah hati yang akan menjadi ujungnya, itu resiko dan juga bagian dari efek jatuh Cinta. Bahkan dalam setiap tetesannya, selalu melempar ingatan yang kemudian membasahi.

Sajak ketiga, ku bubihi dengan tinta berwarna hitam kepada sosoknya yang sangat begitu ku rindukan. Terserah mau membacanya atau tidak, ini adalah suara hatiku sendiri. Saat alunan musik "Bunga Terakhir" di perdengarkan dalam hirup pikuk yang kemudian hening.

Dalam kesunyian malam... kau selalu datang tanpa ku pinta.
Hadir saat awan berubah menjadi kelabu.
Kau menetap selalu dalam setiap penantianku.
Namun kadang menghilang, saat gemuruh tengah melintas.
Aku rindu dengan sepotong senja yang sering kita lihat disuatu petang.
Aku begitu mendamba akan pelangi yang selalu kita harapkan.
Saat kau menghilang...
Langit berubah dengan sesuka hatinya.
Menenggelamkan rasa yang sedikit cemas banyak rindunya.

Jikaulah Rinduku ini adalah hal yang salah, tolong beritahu aku! Jika kau tak pantas untuk ku rindukan. Beginilah aku, yang sering membendung rindu dengan sendirian. Bercakap-cakap dengan dinding dan mengajak daun-daun untuk mendengarkan titipan rasaku. Aku benar-benar gila... disaaat aku sedang mencintaimu.

Keempat, aku tuliskan Sajak ini saat menunggu Hujan reda di deretan belasan manusia yang sedang menunggu bus, angkutan umum, atau menunggu sang pujaan hatinya datang, atau bahkan sedang bingung harus kemana. Pernah ku melihat seseorang di pojok kanan kursi, matanya nanar dan sedikit pucat, ia selalu menutup wajahnya untuk menyembunyikan kesedihan hubungannya yang terpaut oleh jarak. Itupun setelah aku tahu, saat tak sengaja melihat layar di telepon genggamnya.

Dalam kesendirianku... aku merangkai banyak hal
Saat air langit menutup jejak Rindu...
Dari ribuan kata yang mungkin membuatmu bosan.
Apa kabarmu? 
Lesu roman bersinar di lidahku yang kaku.
Aku ingin menyapa, tapi cukup dalam hati saja. 
Apa kabarmu? 
Aku ingat saat kau basuh tubuhku yang penuh peluh.
Mengalirkan airmu pada nadi yang keruh.
Basahmu redakan ragam letupan rindu yang terjebak hujan.
Air mataku yang telah lama mengalir tersamarkan...
Aku ingin bertemu, mengajakmu untuk menari diatas Hujan di Bulan Desember.

Kemudian malamnya, aku meluapkan emosiku ditengah hujan saat sedang deras-derasnya. Aku sibuk mencari jawaban atas kekeliruan pada hatiku. Entah mengapa, aku menangis tersedu-sedu... mengguratkan luka lalu menggoreskan ingatan tentang sosoknya yang begitu ku cintai.
Ini memang bodoh, dan ini memang salahku, membiarkan cinta merasuki jiwaku sampai aku lupa bagiamana caranya untuk melupakan.
Entah kenapa dadaku terasa sesak, lebih sesak dari sebelumnya. Penglihatan juga membuyar, pikiranku menerawang langit-langit yang tak berbintang. Dan sampai akhirnya aku membuat Sajak ke-lima dengan tenang sambil menahan rasa sakit.

Untukmu , malam ini hatiku merasakan ada hal yang aneh. aku memikirkanmu tak henti-henti. Aku tak bisa mengendalikan perasaanku yang begitu dalam.

Untukmu, aku seharusnya tak menulis kalimat-kalimat ini. Tapi hatiku yang meminta. Hatiku yang berteriak, dan hatiku yang bergejolak! Aku tak bisa menahan itu semua. 
Bahkan Hujan pun rasanya sedang menyerangku, aku kalut.

Untukmu, mungkin bagimu ini adalah sangat konyol, bodoh  atau naif. Akupun merasakan hal yang sama. Aku tak bisa berdiam diri tanpa menulis tentangmu. Aku membayangkan sosokmu dalam memoriku, meskipun tak pernah bicara terlalu banyak. Tapi aku tahu, Tuhan pasti menyampaikan pesan ini. 

Untukmu, entah mengapa .... malam ini aku menangis, air mataku tiba-tiba keluar dengan sendirinya. kerinduan telah mencibirku dengan tega dan pada saat itulah aku sedang menulis kalimat ini. Aku tak bisa menghentikan cara pemikiranku yang agak ngawur beberapa akhir ini.  Aku terlalu takut untuk membayangkan hal yang kemungkinan akan menjadi suatu kenyataan.

Untukmu, ini gila. Ini sangat gila ... aku berbicara pada tulisan ku sendiri. Aku membayangkan ribuan kata ini adalah dirimu. padahal, aku tahu, kau tak akan pernah merasakan apa yang aku rasa saat ini. Kesunyian melandaku, dan aku menunggu dimana hari itu akan datang. hari dimana aku berbincang denganmu tanpa harus takut dan juga ragu. 

Untukmu, seketika dadaku sesak ... aku tak mengerti ini pertanda apa. Seolah-olah aku ingin terus menangis, tapi tak tahu sebabnya apa. Aku bingung. 

Untukmu, jika ini semua menurutmu tidak wajar ... terserah! Yang jelas, aku sangat memahami perasaanku bahwa aku sedang mencintaimu dengan sangat! 

Untukmu, beritahu aku bagaimana cara menghentikan semua ini. Aku ingin kembali ke duniaku, aku takut akan sesuatu hal yang tak akan pernah terjadi dalam hidupku. Aku ingin kembali. Aku ingin menghentikan cinta ini, jika memang benar-benar dunia tidak akan pernah mempertemukan kita lagi. 

Untukmu, aku kini sedang dalam keadaan terbaring setelah aku akan tahu bahwa aku tak pernah akan bersatu denganmu. Aku benci dengan rasa ini, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya ingin menangis... menulis tentang mu yang tak ada habisnya.

Untukmu, beritahu padaku, bagaimana perasaanmu saat kau melihat tulisan naifku ini. Betitahu aku!! 

Sebenarnya, tulisan ini dibuat dalam awalan dari kalimat namanya. Namun aku tak sanggup, aku tak berani menulis namanya secara frontal dalam tulisanku. Cukup aku saja yang bisa menulisnya dalam bloknotku. Lagi pula, aku tak punya hak dan juga  tak pernah meminta izin padanya untuk menggunakan namanya. jangankan untuk berbicara, senyumpun rasanya aku tak sanggup. Terserah, ia mau bilang ini Naif, konyol, berlebihan atau semacamnya. Karena aku paham, dia tak cukup mengerti tentang bagaimana perasaaku padanya.

yang ke-enam, Sajak ini ku rangkai di tengah gemercik gerimis saat butiran hujan menapaki tirai dalam adukan kopi dan sepotong roti bakar yang mungkin dapat sedikit menghangatkan.

Ruang imajinasiku tertutup...
Ketika tetesan hujan perlahan menyerbu dan menjelma menjadi sebuah kenangan. 
Panas sudah tak lagi terasa, 
Yang ada hanyalah kedinginan yang tengah bersiap merasuk tubuh.
Pelukan itu kemudian datang...
Menghangatkan setiap detak jantung dan jemari yang telah membeku.
Kemudian, kaca jendela mengukir bentuk hati.
Mengisyaratkan bahwa cinta telah bertemu dengan tuannya. 
Namun perlahan, tetesannya pudar... dan berubah menjadi sebuah harapan.
Dan menggumpal sebagai sosok kerinduan.
Waktupun memperkenalkanku pada sederet luka.
Rasaku seolah mati, jiwaku sudah tak lagi ingin menyatu.
Rindu ini seakan membunuhku.
Dan melepaskan seluruh genggaman dalam hatiku.
Aku ingin lepas dari malam di hujan yang mengerikan ini.
Aku ingin pergi bersama angin yang mungkin akan membinasakan seluruh perasaanku.

Entah mengapa, Hujan di bulan  ini begitu mengegerkan... kenangan demi kenangan seperti akan menyatu bagaikan puzzle kehidupan yang mulai disatukan. Gerimis  membawaku pada setiap keingatan yang menyayat. Kembali pada kisah Cinta yang sulit di definisikan.

Pada dasarnya, Hujan dan Rindu adalah teman yang mengisi satu sama lain. Memberikan arti tertentu, menyimpan banyak rasa, dan sama-sama mempunyai dua sisi dalam bentuk ingatan.

Untuk sang Hujan, aku titipkan rindu yang mungkin akan mengalir pada hatinya.
Meskipun itu adalah hal yang mustahil.
Untuk sang Rindu, ku salamkan rasa ini pada butiran air yang mungkin akan menggenang bersama alirannya. 
Dan untukmu, biar ku simpan Cinta ini rapat-rapat sebagai hartaku yang paling berharga.


Komentar

  1. Kata kata yang ingin ku sampaikan kepadanya..
    To : D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Broken Home (Curahan hati Anakmu)

Entah sampai kapan,aku akan bergelayut dalam cerita yang menyedihkan. Sebagai anak, aku hanya bisa mengabdi dan berbakti pada kedua orang tuaku. Aku menyayanginya lebih dari apapun. aku mencintai mereka lebih dari yang mereka tahu! Dan tentunya, aku tak ingin kehilangan mereka.   Aku kehikangan kasih sayang, kehilangan perhatian dan tentunya kehilangan sosok figur ayah yang dari sejak dini beliau meninggalkanku. "PERCERAIAN' satu kata yang enggan sekali untuk aku ceritakan. aku benci dengan kata itu! Kata yang membuatku merasa menderita sebagai anak. Yaa, aku sebagai anak hanya menjadi korban dari pelampiasan pertengkaran hebat yang selalu mereka pertontonkan di depan anak-anaknya. Sebagai anak, aku bisa apa? Melerai? Tapi di ceramahi. Pergi? Tapi tak bisa. Lapor satpol pp?kan gak mungkin.   Hanya pertengkaran demi pertengkaran yang mereka lakukan. Hanya karena hal sepele dan ego yang tinggi untuk saling berargumen membuat pertengkaran itu semakin mengerikan. Aku hanya bi

Pantaskah Kau Kupanggil Ayah?

      Mempunyai keluarga yang lengkap itu sungguh sangat beruntung. Tapi,tak setiap orang bisa memiliki keberuntungan itu. Seperti aku, hanya bisa meratapi apa arti sebuah keluarga, apa makna dari sebuah kasih sayang dan bagaimana semuanya itu disatukan dengan kebersamaan.   Tepat pada usiaku 4 tahun, keceriaan dan kebahagiaan mulai memudar dan bahkan hilang. Karena kebiasaan buruk Ayahku yang sering berjudi dan meminum-minuman barang haram seperti alkohol, membuat keputusan Ibu semakin bulat untuk "bercerai" dengan Ayah. Kala itu , aku tidak tahu apa-apa tentang semuanya, tentang bagaimana kami harus tinggal beda atap dan tidak bersama lagi. Bahkan sampai bertahun-tahun kami tidak pernah bertemu. Dan sampai akhirnya, Ibu kembali menikah dengan laki-laki lain yang berbeda keyakinan dengan kami. Semula perkawinan ini baik-baik saja, bahkan Ayah tiriku ini sangat memperlakukan ku dengan baik seperti anaknya sendiri. Tapi aku belum bisa memanggilnya "Ayah". Entahlah