Aku terdiam mematung tepat dihadapan lukisan yang tergantung cantik berdominasi warna hitam, kuning dan merah dengan sedikit guratan hijau di sisi kanan bawah. Mataku terus mengamati setiap lekukan warna yang berkelok-kelok, berputar-putar, seperti pusara ombak atau hal yang tak bisa ku tebak apa maksudnya. Lukisan ini terlihat nyata dihadapanku sekarang, sebelum aku melihatnya di gambar website saat bersamamu empat bulan yang lalu.
"Aku masih bingung deh sama lukisan Affandi ini" seruku perlahan menatapmu.
"Kenapa bingung?"
"Aku ngga ngerti maksudnya apa"
Kemudian kau hanya membalas ucapanku dengan tersenyum. Sambil menunjuk tulisan yang berada di bawah gambar setelah di zoom.
"Badai pasti berlalu"
"Iyaa"
"Tapi kenapa gambarnya abstrak gini? Aku gagal paham" kataku.
Lagi-lagi kau terkekeh, seperti mengucilkan betapa bodohnya aku karena tak mengerti maksud lukisan ini.
"Sepertinya lukisan Affandi ini mengisahkan perjuangan manusia yang sedang mengarungi samudera luas untuk mencapai suatu tempat yang akan dituju, sebagaimana manusia dalam hidup ini terus berjuang untuk mencapai tujuan yang diharapkan. dan dalam perjalanan tersebut banyak sekali rintangan, mulai dari ombak badai yang kecil hingga besar, namun setelah ombak dan badai berlalu, secercah matahari memberikan sinarnya, membawa mereka hingga suatu tempat tujuan yang mereka inginkan." penjelasan yang panjang darimu. Setelah percakapan di halaman rumahku, tepat di hari itu juga kau kembali ke tempat asalmu, Jogja. Kota yang berada di urutan ke dua setelah Lombok di catatan pribadiku, jika kelak tuhan menghendaki untuk bertandang kesana.
Hubungan jarak jauh bukanlah hal yang biasa bagi orang-orang pada umumnya. Hanya orang yang mempunyai keberanian untuk saling percaya dan sanggup membunuh rindu dan kawanan cemas yang menyertainyalah yang bersetia pada yang ia punya tanpa melihat yang lain. Seperti aku, yang hanya bertemu denganmu sebulan sekali. Itupun jika tidak ada kendala atau hal lain yang membuat rindu ini semakin berkepanjangan.
Akhir-akhir ini rinduku makin mencekik, sudah empat bulan kita tak pernah bertemu. Setelah kau mengantarkanku pulang sampai rumah dengan basah kuyup. Juga dengan nasib jaket kulitmu yang akhirnya tergantung di kamarku saat mencoba menghangatkan tubuh kala hujan semakin deras. Kala itu aku hanya memandangi wajahmu yang basah, menenggelami rasa cinta yang ku punya.
Semenjak pertemuan kita disalah satu event lestari, aku tak pernah sangka bahwa orang yang menjadi pesaingku diacara itu telah menjadi kekasihku saat ini.
Yakni, kau. Pria yang sanggup membukakan hatiku selama delapan belas tahun, aku pun tak paham, mengapa cinta membuatku mencintaimu? Padahal aku sendiri hanyalah orang kuno yang tak pernah menjalani hubungan sebelumnya.
Dan kini, aku tengah berdiri. Memakai jaket yang kau pakai, dengan topi yang biasa ku pakai. Memandangi lukisan maestro Indonesia yang sangat kau gemari. Diluar, cuaca tengah mendung. Handphoneku tak bergetar, tak ada pesan apapun disana. Sekilas hanya frame kau dan aku yang menjadi wallpaper. Hening, sepi, sesekali angin berkelebat menyapu debu diluar sana.
"Aku aneh deh, kenapa kalau setiap kita ketemu. Cuacanya mendung terus" ujarku sehabis meneguk teh di warung kopi bersamamu empat bulan yang lalu.
"Mendung tak berarti hujan kan ..."
"Kamu terlalu sering kehujanan karena aku. Gibran!"
"Tak apa, aku gak peduli. Asal kamu yang gak sering kehujanan" bibirmu kala itu terlihat pucat, tangan yang menyentuh wajahku terasa dingin. dan pada saat itulah, kau baru merasakan sakit di kepalamu. Sehingga kau harus pulang ke Jogja tanpa bilang padaku terlebih dahulu.
Sakit itu mulai menjalar merasuki tubuhku sekarang, bukan karena flu, batuk, anemia, typus, atau penyakit lain yang mengganggu tubuhku. Melainkan rindu dan rasa perih yang menusuk di dada. Rindu yang menjelma seperti anak panah Kurawa yang menyakitkan, yang mengakibatkan jutaan air mata menggenang dalam tujuh hari di pipiku.
Rindu itu membawaku menuju Jogja, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Perihal kau yang tak pernah datang setiap bulan ke rumahku, perihal kau yang tak memberi kabar sampai saat ini, juga perihal rasa rindu yang entah akan ku bawa pergi kemana untuk mencari tuannya.
Aku menghela nafas, ketika tahu bahwa namamu hanya tertinggal di batu nisan sejak tiga bulan yang lalu. Langit Jogja kala itu tak seindah apa yang ku lihat di internet, ia murung, mendung pekat, dan gerimis kecil menyertai air mataku yang terisak karena kepergianmu. Ini seperti kekonyolan, khayalan, atau cerita mereka yang mengada-ada bahwa kau telah tiada. Seharusnya kau cerita, perihal kau yang tak suka hujan! Tentang mengapa kau takut jikalau cuaca mulai mendung, seharusnya kau beritahuku agar kau tak memaksakan diri untuk pergi menuju kota ini tanpa membawa obat-obatmu.
Aku terlalu egois untuk menangkan rinduku yang kerap merengek ingin bertemu denganmu. Padahal kau sendiri tengah berjuang dengan penyakitmu yang sama sekali tak pernah ku ketahui. Kini, rindu itu telah terbunuh bersama pusaramu yang ku datangi setelah aku mengunjungi Museum Affandi yang kau janjikan akan kesana bersama-sama.
Sosokmu telah menyerupai surat yang ku genggam sekarang, setelah Ibumu menitipkan pesannya untukku jika sewaktu-waktu aku nekat pergi ke Jogja.
"Mawar, kau tak boleh menangis jika aku tengah tidak ada saat kau membaca surat ini. Aku terlalu banyak berbohong kepadamu. Aku tidak suka jika air matamu mengalir dan jatuh karena ulahku. Meski jarak terbentang luas, aku selalu percaya bahwa kau selalu mencinta. Aku yang terlalu banyak berbohong kepadamu, ingin sekali berkata jujur setelah kau benar-benar telah membenciku saat ini. Aku memang takut akan cuaca mendung, aku takut akan hujan yang membasahi tubuhku yang rentan ini. Tapi aku memberanikan diri untuk selalu menemuimu meski harus di musim penghujan sekalipun.
Dan kau harus tahu, aku seorang penghianat. Aku pernah Jatuh cinta dengan orang lain saat usia hubungan kita genap tiga bulan. Bukan karena kau tak perhatian, tapi hanya aku saja yang bodoh dan tidak bersikap ksatria saat memilih cinta. Kau berhak untuk membenciku, dan kesalahanku tak pernah termaafkan walau aku harus diterpa badai sekalipun. Karena, aku percaya takdir tuhan tak pernah gagal. Dan aku, menjadi kekasih yang gagal untukmu saat jarak dan rindu tak bisa untuk ku kalahkan.
Maaf Mawar, sejujurnya aku tak mampu melawan badai seperti apa yang kumaksudkan dalam lukisan Affandi. Aku mencintaimu"
Tanganku mendadak kaku, perih sekali. Sehingga kala itu tidak bisa mampu memegang surat darimu yang telah dibanjiri tangis. Pikiranku terus mencerna apa isi dari surat itu, sulit mempercayai. Namun bagaimanapun juga, kau sudah tidak ada lagi saat ini. Aku hanya dapat melihat wajahmu yang basah kala itu, sebelum kau benar-benar membuat hatiku menjadi gelap layaknya mendung yang bergegas hujan.
Dan rinduku sudah terbunuh.
Termakan waktu, juga perih yang terasa di dada.
Namun salahmu telah ku maafkan, bersamaan mendung dan rasa yang bergumul dalam cinta yang sudah melebur.
Komentar
Posting Komentar